Kurikukum 2013 menghapus Mata Pelajaran (Mapel) Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di sekolah. TIK diganti dengan Mapel Prakarya. Otomatis seluruh siswa tidak lagi mendapatkan materi TIK.
Berselang beberapa tahun berjalanya kurikulum 2013, kita dihadapkan dengan wabah Virus Corona-19 (COVID-19). Wabah ini berdampak pada dunia pendidikan, tak hanya di tanah air tetapi seluruh dunia merasakan akibat Covid. Baik itu ekonomi hingga ranah pendidikan. Saat ini para pemimpin dunia sedang berjibaku dan bekerja keras melawan pandemi yang menjangkiti antar manusia.
Sejak pandemi mulai ganas awal tahun 2020, hingga ditemukan kasus pertama di Indonesia pada Maret lalu, dunia pendidikan kita pun mendapatkan imbas dari wabah tersebut. Siswa di rumahkan dan tidak boleh ada kegiatan pembelajaran di sekolah.
Kendati demikian pembelajaran harus tetap berjalan ditengah wabah, hanya metode pembelajaran yang berbeda. Tidak seperti biasanya. Ya, dari bertatap muka ke tidak bertatap muka. Atau yang saat ini sangat populer adalah Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Bahkan guru pun tidak harus lagi mengacu pada kurikulum 2013 selama pandemi ini berlangsung. Guru diberi kewenangan dalam PJJ.
Namun ditengah virus yang tidak tahu kapan berakhir, PJJ menuntut seluruh lembaga pendidikan memanfaatkan teknologi sebagai pelaksanaan pembelajaran termasuk juga para siswa. Senang tidak senang, suka atau tidak suka PJJ harus kita lakukan agar siswa tidak ketinggalan pelajaran.
Sejak Mapel TIK diganti dengan Prakarya, siswa ditanah air ini sudah tidak pernah diajarkan lagi tentang TIK, karena sudah dihapuskan dalam kurikulum 2013. Padahal gambaran tentang masa depan adalah teknologi dan digitalisasi. Ini yang terkadang membuat miris dunia pendidikan. Mapel TIK seharusnya menjadi urgen di era digitalisasi ini malah dihapus.
Derasnya arus digitalisas telah memberikan cara pandang dan pola hidup masyarakat kita. Kita dapat menyaksikan menjamurnya pusat-pusat belanja online, dengan hanya menggunakan gadget, kita dapat belanja apa saja di seluruh dunia. Tanpa perlu lagi pergi ke negara tersebut dan datang ke tokonya. Inilah perubahan yang cukup signifikan di era digitalisasi.
Digitaisalis juga dirasakan pada dunia pendidikan. Ini sangat terasa ketika pandemi covid-19, perubahan metode pembelajaran dari konvensional kepada digital. Para guru memanfaatkan media-media digital seperti Google Form, video convention, WhatsApp dan lain-lain untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran ditengah Pandemi.
Era revolusi Industri 4.0, menuntut kita untuk tidak Gagap Teknologi (Gaptek). Era ini mengintegrasikan komputer dan internet untuk meningkatkan produktifitas. Sangat disayangkan, Mapel TIK sangat penting di era 4.0 ini dihapus. Entahlah, penulis aja heran dengan dihapus Mapel TIK. Sebagai guru, penulis merasakan banyak kekurangan dihadapi saat PJJ berlangsung selama Pandemi ini.
Pada saat akan dilaksanakan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) tahun pelajaran lalu, di SMP tempat penulis mengajar, hampir seluruh siswa tidak bisa menggerakan mos. Mirisnya para siswa itu bingung ketika berhadapan dengan komputer. Karena siswa memang tidak pernah dikenalkan dengan komputer. Apalagi di rumah mereka juga tidak memiliki fasilitas ini.
Ketika banyak siswa kita temukan gaptek dengan komputer, jangan salahkan guru. Namun adalah kurikulum yang membentuk kita. Siswa saat ini sudah tidak diberikan Mapel Teknologi, malah di ganti dengan Prakarya. Padahal Mapel Prakarya bisa saja digabungkan dengan Mapel Seni, Budaya dan Keterampilan (SBK).
Era revolusi Industri 4.0 menekankan pentingya penggunakan teknologi dalam kehidupan kita. Begitu juga dengan pendidikan. Penulis menyarankan agar pemerintah segara mengembalikan Mapel TIK di sekolah. Karena Mapel ini urgen untuk menggenalkan siswa dengan teknologi dan komputer.
Senang Dengan Cara Konvensional
Pendidikan kita masih kaku menjawab era digitalisasi. Alih-alih Mapel TIK dihapus. Kita lebih terbiasa dengan pembelajaran konvesional. Belajar dengan cara lama, ceramah dan bertatap muka lebih kita senangi dan mudah kita berikan kepada siswa.
Guru berceramah di depan kelas, siswa mendengarkan dan mencatat buku sampai habis itu adalah cara pembelajaran yang enak. Guru berkuasa penuh di dalam kelas.
Pembelajaran konvensional ini sudah menjadi kebiasaan guru kita selama ini. Maka ketika dalam waktu beberapa bulan, guru dan siswa dituntut untuk melaksanakan PJJ, kita gagap dan banyak kesulitan dilapangan. Bingung dan pusing.
Pandemi Covid-19 membuka mata kita bahwa pembelajaran virtual adalah suatu keniscayaan. Kita telah belajar banyak dari wabah ini, ternyata teknologi sangat penting bagi pembelajaran di era revolusi 4.0.
Sebagai negara yang besar dan salah satu negara dengan penduduk terpadat di dunia, memang tidak mudah untuk menyamakan motode pembelajaran digital atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Namun tuntutan zaman masifnya arus teknologi harus kita terima dengan lapang dada.
Setiap daerah, sekolah memiliki atmosfir yang berbeda. Bagi sekolah di kota-kota besar, sangat mudah melaksanakan PJJ atau belajar virtual. Berbeda dengan daerah-daerah terpencil dan terpelosok, yang jauh dari jangkauan internet bahkan untuk signal menelpon saja susah.
Belajar konvensional adalah paling cocok bagi daerah-daerah yang sulit dijangkau internet. Media massa beberapa waktu lalu menghiasi pemberitaan tentang guru yang langsung datang ke rumah siswa untuk mengajar di tengah pandemi. Kondisi mereka sama, kemampuan ekonomi siswa dan sulitnya jaringan internet adalah alasan guru langsung mendatangi rumah siswa.
Penulis berasumsi jika PJJ lebih efektif bagi daerah-daerah dan sekolah yang orangtuanya mampu dari segi ekonomi dan kemudahan akses internet.
Kendati beberapa waktu lalu Kementerian Pendidikan dan Kebudahaan (Kemendikbud) memberikan paket internet belajar gratis bagi guru dan siswa, namun banyak sekolah yang juga tidak mengambil paket internet ini dikarenakan kesulitan untuk melaksanakan PJJ. Ketika guru memberikan materi misalnya lewat google form saja, siswa bingung mau menjawab dan hanya sebagian saja yang bisa.
Digitalisasi adalah tantangan berat bagi dunia pendidikan kita. Pandemi Covid-19 adalah sudah membuka mata kita, pendidikan kita belum siap menjawab era pembelajaran digital. Namun kedepanya agar siswa dan guru tidak gaptek, sebaiknya Mapel TIK dikembalikan saja ke sekolah.
Pandemi ini tepat terjadi ditengah revolusi Industri 4.0. Era Pandemi ini memberikan tantangan baru bagi dunia pendidkan kita. Siswa dan guru adalah komponen yang merasakan dampak dari Pandemi ini.
Tidak perlu kita menyalahkan siapapun atas fenomena ini. Misalnya pemerintah atau guru. Negara sudah banyak mengeluarkan energi, anggaran agar pembelajaran tetap berlangsung.
Penulis : Ahmad Yani
Guru SMP Negeri 2 Senayang
12 Comments
Hidup TIK..
ReplyDeleteHidupppp
DeleteSetuju. Mari kita terus perjuangkan melalui tulisan akan pentingnya mata pelajaran tik utk dipelajari
ReplyDeleteYa om Jay..semoga TIK dikembalikan lagi ke sekolah..amin
DeleteMantab..pak ahmad....ulasannya keren...
ReplyDeleteTerimakasih buk.. mohon koreksi jika ada kekurangan 🙏🙏🙏🙏
DeleteMemang harus pny pembelajaran TIK. Krn UN ad UNBK. Gamam budak megang leptop
ReplyDeleteBetul sangat...
DeleteSeharusnya TIK tidak dihapus dari mapel di negara kita. Sayangnya, kurikulum pendidikan di negara kita mirip seperti percobaan daripada berupaya mencerdaskan anak bangsa.
ReplyDeleteDi Sekolah kami, Prakarya kelas 7 isinya mapel TI, sekarang sdh tahun ke dua pelaksanaannya.
ReplyDeleteTiada pihak yang protes.
Bagaimana dengan sekolah bapak dan ibu?
Tetap prakarya di sekolah kami pak
DeleteBetul pak.. Di era saat ini kt smua sngt mbutuhkn pljran TIK.. Apalagi mnjawab tantangan masa dpn.. Jk TIK d hpus bgmn anaK2 kt akan bs mmnuhi kbutuhan msa dpn u era digital..
ReplyDelete